radar kampus

Flexslider

    Ice Cream Domino


    Es krim tentu saja bukan sajian khas dari Indonesia, apalagi Jember. Namun kedai es krim ini sudah menjadi saksi perkembangan kabupaten Jember selama lebih dari 50 tahun. Bisa dibilang Ice Cream Domino ini adalah Ragusa-nya Jakarta versi Jember, sehingga Ice Cream Domino juga menjadi wisata kuliner Jember yang khas. Kedai es krim ini terletak di dekat alun-alun kota Jember, sehingga letaknya strategis dan mudah ditemukan. Menu es krim yang disajikan di sini sangat bervariasi, dari segi rasa dan bentuknya.

    Anda bisa mencicipi berbagai varian rasa es krim, mulai dari vanilla, cokelat, blueberry, rainbow, dan rasa lainnya yang mencapai 40 jenis. Sedangkan untuk bentuk sajian es krimnya, kedai es krim yang didesain modern mengikuti zaman ini menyediakan icecreamfloat (soda), sekop, cone, hingga potongan persegi panjang hingga menyerupai kue bolu. Rasa es krimnya sangat enak, manis, dan terasa susunya. Teksturnya juga sangat lembut sehingga lumer di mulut. Rahasia di balik itu adalah penggunaan resep tradisional es krim yang masih menggunakan susu sapi perah murni, sehingga Anda bisa merasakan rasa es krim tempo dulu.

    Bakso Kabut

    Bakso memang bukan hidangan khas dari Jember, namun sajian bakso yang unik ini datang dari seorang warga Jember, Juhairiyah. Bakso Kabut diciptakan oleh Juhairiyah setelah usahanya berjalan bakso gerobak gulung tikar karena tidak laku. Penasaran dengan bakso kabut? Apakah bakso ini berasap menyerupai kabut? Atau kedai bakso ini berada di daerah pegunungan yang sering berkabut? Bukan, bukan. Bakso kabut adalah bakso yang tertutup lapisan telur, sehingga daging baksonya sendiri tidak terlihat dari luar. Inspirasi penamaan bakso ini datang dari kondisi di pagi hari yang berkabut, sehingga menghalangi pengelihatan ke sekeliling atau tidak terlihat.

    Kabut di sini maksudnya memiliki filosofi yang mirip, karena Anda tidak dapat melihat daging bakso yang terhalang lapisan telur, seperti kabut. Soal rasa, jangan ditanya. Bakso unik ini sangat lezat, dengan lapisan telur yang menyatu dengan daging bakso saat dikunyah. Kedai bakso yang memiliki omset hingga 8 juta rupiah per bulan ini dapat Anda temui di Jalan Rasamala, desa Kemuning Lor. Semangkuk porsi bakso kabut dapat Anda nikmati dengan murah saja, yaitu dari Rp 5,000 hingga Rp 15,000, tergantung ukuran bakso yang dipesan.

    tes



    Jika menghubungi nomor telepon rumahnya di Jl Tawang Mangu, Jember, akan terdengar mesin penjawab berbahasa Jepang. Subagio memang lulusan Jepang. Dia menyelesaikan S-2 dan S-3-nya di Osaka Perfecture University di Negeri Sakura tersebut. Mengapa tertarik meneliti tepung gaplek? Menurut dosen di Fakultas Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Jember itu, tepung gaplek atau tepung singkong selama ini dikesankan inferior. "Kesannya selama ini, kalau orang sampai makan gaplek itu kok miskin banget," kata pria 39 tahun itu. Padahal, lanjut Subagio, singkong adalah tanaman yang sangat banyak di Indonesia. "Bahkan, menurut data FAO (lembaga PBB yang membidangi masalah pangan) 2004, Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia setelah lima negara lain," katanya. Karena itu, singkong sebenarnya bisa menjadi alternatif bahan pangan ketika terjadi krisis pangan. "Tapi, orang telanjur lekat dengan kesan bahwa kalau makan tepung gaplek itu ndeso banget," tandasnya. Dari sinilah lantas muncul tekad Subagio untuk mengembalikan kejayaan singkong sebagai bahan makanan asli Indonesia. Sejak itulah Subagio mulai meneliti tepung gaplek pada 2004. "Saya mulai meneliti ketika berada di Belanda, mengikuti training tentang food safety tiga bulan," ceritanya. Dari Belanda, Subagio melanjutkan training ke Inggris, tepatnya di sebuah kota dekat Liverpool. "Di Inggris, saya mempelajari bagaimana mengemas sebuah produk baru yang selanjutnya saya terapkan untuk produk baru modifikasi dari tepung gaplek," katanya. Setelah setahun meneliti, akhirnya Subagio berhasil memodifikasi tepung gaplek menjadi bahan yang kaya manfaat. Temuannya diberi nama Modified Cassava Flour (Mocal), yakni tepung ubi kayu termodifikasi. Apa bedanya dengan tepung gaplek? Subagio menerangkan, tepung gaplek, pembuatannya lebih sederhana. Yakni, ubi kayu dikeringkan, lalu digiling menjadi tepung. "Kalau Mocal, melalui beberapa proses kimia," katanya. Di antaranya, ubi kayu difermentasikan dulu. "Difermentasikan di sini bukan berarti dibuat tape lho," katanya. Setelah itu, dikeringkan. Mengeringkannya, 3/4 menggunakan matahari. "Kita juga menggunakan alat pengering hibrida agar terjamin hieginitasnya," katanya. Setelah dikeringkan, ubi ketela itu akan berbentuk chips (seperti keripik). Selanjutnya, baru digiling, diayak (disaring), dikemas menjadi produk tepung serbaguna. "Bedanya dengan tepung gaplek, kalau tepung gaplek bau ketelanya masih dominan sehingga kadang baunya apek," katanya. "Tapi, tepung Mocal kami cita rasa ketelanya hampir nggak ada. Sekitar 70 persen rasa singkongnya hilang," jelas pria yang juga berhasil meneliti koro sebagai pengganti kedelai dan telah diterapkan di Afrika Selatan itu. Berkat proses kimia yang diterapkan pada Mocal, Subagio berhasil menjadikan tepung gaplek memiliki tingkat viskositas (kekentalan) dan tingkat elastisitas adonan yang tinggi. "Kalau tepung gaplek itu tidak bisa dijadikan bahan pembuatan kue, tepung Mocal buatan kami bisa," kata bapak satu anak itu. Kini Subagio mengaku mulai kewalahan menerima pesanan dari sejumlah industri pembuat kue. "Menggunakan tepung Mocal memang lebih rendah biayanya ketimbang tepung terigu," katanya. Sebagai perbandingan, harga tepung terigu sekitar Rp 4.600 per kilogram. Tepung Mocal sekitar Rp 3.200 per kilogram. "Kandungan karbohidrat tepung Mocal juga lebih tinggi dari tepung terigu," lanjutnya.
    (wisnu priyono/jpnn/kum)

    Mengembalikan Kejayaan Singkong

    Di tangan Achmad Subagio, tepung gaplek (tepung dari ubi kayu) yang minim manfaat, berhasil dimodifikasi menjadi kaya manfaat. Doktor ahli kimia pangan itu pun telah mempresentasikan temuannya tersebut di dunia internasional dan telah diakui. 

    Jika menghubungi nomor telepon rumahnya di Jl Tawang Mangu, Jember, akan terdengar mesin penjawab berbahasa Jepang. Subagio memang lulusan Jepang. Dia menyelesaikan S-2 dan S-3-nya di Osaka Perfecture University di Negeri Sakura tersebut. Mengapa tertarik meneliti tepung gaplek? Menurut dosen di Fakultas Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Jember itu, tepung gaplek atau tepung singkong selama ini dikesankan inferior. "Kesannya selama ini, kalau orang sampai makan gaplek itu kok miskin banget," kata pria 39 tahun itu. Padahal, lanjut Subagio, singkong adalah tanaman yang sangat banyak di Indonesia. "Bahkan, menurut data FAO (lembaga PBB yang membidangi masalah pangan) 2004, Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia setelah lima negara lain," katanya. Karena itu, singkong sebenarnya bisa menjadi alternatif bahan pangan ketika terjadi krisis pangan. "Tapi, orang telanjur lekat dengan kesan bahwa kalau makan tepung gaplek itu ndeso banget," tandasnya. Dari sinilah lantas muncul tekad Subagio untuk mengembalikan kejayaan singkong sebagai bahan makanan asli Indonesia. Sejak itulah Subagio mulai meneliti tepung gaplek pada 2004. "Saya mulai meneliti ketika berada di Belanda, mengikuti training tentang food safety tiga bulan," ceritanya. Dari Belanda, Subagio melanjutkan training ke Inggris, tepatnya di sebuah kota dekat Liverpool. "Di Inggris, saya mempelajari bagaimana mengemas sebuah produk baru yang selanjutnya saya terapkan untuk produk baru modifikasi dari tepung gaplek," katanya. Setelah setahun meneliti, akhirnya Subagio berhasil memodifikasi tepung gaplek menjadi bahan yang kaya manfaat. Temuannya diberi nama Modified Cassava Flour (Mocal), yakni tepung ubi kayu termodifikasi. Apa bedanya dengan tepung gaplek? Subagio menerangkan, tepung gaplek, pembuatannya lebih sederhana. Yakni, ubi kayu dikeringkan, lalu digiling menjadi tepung. "Kalau Mocal, melalui beberapa proses kimia," katanya. Di antaranya, ubi kayu difermentasikan dulu. "Difermentasikan di sini bukan berarti dibuat tape lho," katanya. Setelah itu, dikeringkan. Mengeringkannya, 3/4 menggunakan matahari. "Kita juga menggunakan alat pengering hibrida agar terjamin hieginitasnya," katanya. Setelah dikeringkan, ubi ketela itu akan berbentuk chips (seperti keripik). Selanjutnya, baru digiling, diayak (disaring), dikemas menjadi produk tepung serbaguna. "Bedanya dengan tepung gaplek, kalau tepung gaplek bau ketelanya masih dominan sehingga kadang baunya apek," katanya. "Tapi, tepung Mocal kami cita rasa ketelanya hampir nggak ada. Sekitar 70 persen rasa singkongnya hilang," jelas pria yang juga berhasil meneliti koro sebagai pengganti kedelai dan telah diterapkan di Afrika Selatan itu. Berkat proses kimia yang diterapkan pada Mocal, Subagio berhasil menjadikan tepung gaplek memiliki tingkat viskositas (kekentalan) dan tingkat elastisitas adonan yang tinggi. "Kalau tepung gaplek itu tidak bisa dijadikan bahan pembuatan kue, tepung Mocal buatan kami bisa," kata bapak satu anak itu. Kini Subagio mengaku mulai kewalahan menerima pesanan dari sejumlah industri pembuat kue. "Menggunakan tepung Mocal memang lebih rendah biayanya ketimbang tepung terigu," katanya. Sebagai perbandingan, harga tepung terigu sekitar Rp 4.600 per kilogram. Tepung Mocal sekitar Rp 3.200 per kilogram. "Kandungan karbohidrat tepung Mocal juga lebih tinggi dari tepung terigu," lanjutnya.
    (wisnu priyono/jpnn/kum)

    Kunjungan Wamentan di Mr. Te, Produk Olahan Tepung Singkong


    JEMBER, 25/9 - WAMENTAN. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan (kiri) berbicang dengan penemu dan peneliti bahan pangan alternatif beras, yaitu tepung MOCAF (Modified Cassava Flour) atau tepung singkong, Ahmad Subagio di Warung Mr. Te, Tegal Gede, Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Selasa (25/9). Berbagai macam olahan makanan dari tepung MOCAF, seperti beras, mie ayam, kue kering, kue basah dan roti sebagai bahan pangan alternatif yang memiliki gizi tidak kalah dari beras. FOTO ANTARA/Seno S./nz/12.

    Sumber : http://www.antarafoto.com/bisnis/v1348543501/olahan-tepung-singkong

    Achmad Subagio 'Anak Singkong' Penemu Tepung Singkong

    CALON PRESIDEN BERKATA, 'MENGAPA KITA REPOT-REPOT MEMIKIRKAN SINGKONG? KITA KAN PUNYA UANG, IMPOR SAJA.

    Dr. Achmad Subagio MAgr menceritakan pengalaman mendapat cibiran itu dari calon presiden pada pemilihan umum 2004 itu kepada Trubus. Saat itu ia diundang untuk mempresentasikan teknologi produksi mocaf. Usai presentasi tentang mocaf, calon presiden itu berkomentar seperti di atas. Bukan hanya dari calon presiden, cibiran itu juga datang dari beberapa rekan dosen di Universitas Jember, tempat ia mengajar. 'Singkong murah kok diurusi. Untuk apa dosen mengurusi singkong?' hanya beberapa pernyataan miring itu.

    Namun, doktor Kimia Pangan itu tak hirau. Ia terus meriset ubikayu menjadi tepung, tetapi tanpa aroma dan rasa singkong. Produk itu kini sohor sebagai modified cassava flour (mocaf). Dosen berusia 40 tahun itu menempuh jalan berliku untuk menghasilkan tepung ubikayu tanpa aroma singkong.
    Tak mungkin?

    Pada riset itu, mula-mula ia memfermentasi singkong segar. Sayang durasinya sangat lama, 3 pekan. 'Karena fermentasinya spontan, jadi mikroba yang tumbuh tidak jelas,' ujar kelahiran Kediri, Jawa Timur, 17 Mei 1969 itu. Inspirasi datang dari gatot, penganan tradisional yang juga berbahan baku singkong. Dalam proses pembuatannya, gatot pun mengalami fermentasi.

    Pada 2005-setelah setahun meriset-Subagio mengisolasi bakteri asam laktat dari penganan yang lazim dinikmati bersama parutan kelapa itu. Sayang, Subagio menolak menyebut spesies bakteri itu. Dengan bakteri asam laktat, proses fermentasi lebih singkat, hanya 8-10 jam (baca: Tepung dari Bawah Tanah, halaman 20). Proses fermentasi bertujuan menutupi aroma dan rasa singkong.

    Selain itu fermentasi juga menghancurkan selulosa menjadi tepung bertekstur halus. Menurut Subagio bakteri asam laktat mampu mendegradasi selulosa dan melubangi dinding granula pati. Selulosa harus dipecah karena pati terbungkus selulosa. Jika selulosa tidak dipecah maka hanya dihasilkan tepung gaplek, bukan tepung mocaf.

    Salah satu perbedaan antara tepung gaplek dan tepung mocaf adalah pada tingkat viskositas atau kekentalan. Viskositas tepung gaplek sangat rendah. Pada suhu 95oC dengan konsentrasi 2%, viskositas tepung gaplek hanya 45 mPa.S (1 Poise = 100 cP atau centiPoise, 1cP = 1 mPa.S). Bandingkan dengan viskositas tepung mocaf yang mencapai 75 mPa.S dan terigu 65 mPa.S. Jika viskositas rendah, maka tepung tidak lengket ketika diberi air.

    Meski bakteri asam laktat mampu memecahkan selulosa singkong, tetapi dinding selulosa masih sedikit menempel pada pati. Dampaknya viskositas tepung mocaf tidak setinggi tepung tapioka. Tapioka hanya terdiri sari pati sehingga sangat kental. Selain memecah selulosa, bakteri asam laktat juga memodifikasi granular pati yang halus menjadi berlubang-lubang.

    Lubang-lubang itu memperkuat ikatan antarbutiran sehingga adonan tidak gampang terputus. Dengan karakteristik itu, tepung singkong itu mirip terigu. Dalam pembuatan beragam penganan, mocaf alias modifikasi tepung singkong mampu menggantikan terigu yang masih diimpor.
    Fleksibel

    Pengolahan umbi Manihot esculenta menjadi tepung tanpa aroma dan rasa singkong itu merupakan penemuan pertama di dunia. Subagio memberi nama temuannya itu mocal, pemendekan dari modified cassava flour. Dalam bahasa Jawa, mokal berarti tak mungkin. 'Tetapi saya berkeyakinan bahwa ini (produksi tepung singkong modifikasi, red) mungkin,' kata dosen Teknologi Pangan itu. Nama mocal kemudian ia ubah menjadi mocaf.

    Teknologi hasil temuan Subagio itu kini menyebar ke berbagai daerah seperti Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur, Pati (Jawa Tengah), dan Ciamis (Jawa Barat). Temuan itu mengangkat pamor singkong yang selama ini dikenal sebagai komoditas inferior atau komoditas orang miskin. 'Dengan bentuk tepung, rasa, dan aroma yang lebih netral produk ini sangat fleksibel untuk diolah menjadi apa saja,' kata Subagio.

    Gagasan mengolah singkong menjadi tepung modifikasi terlintas ketika Subagio mengikuti program jejaring kerja sama antaruniversitas Asia-Eropa di Belanda dan Inggris. Program berlangsung pada 1 April-30 Juni 2004. Ia mengunjungi antara lain Avebe Corp di Kota Veendam, Belanda, yang mengolah kentang menjadi beragam produk seperti penganan, kosmetik, dan bahan pencampur cat.

    'Pikiran saya adalah bila Belanda mempunyai kentang, lalu Indonesia apa? Saat itu pula terlintas semua potensi alam Indonesia, mulai singkong, ubijalar, sagu sampai ganyong,' kata alumnus Osaka Prefecture University itu. Di antara potensi komoditas-komoditas itu yang paling mudah dikembangkan menjadi industri adalah singkong.

    Usai menemukan teknologi produksi mocaf, Subagio kerap diundang untuk berbicara tentang tepung singkong. 'Sudah 5 tahun ini, hidup saya selalu berkaitan dengan mocaf.' kata Subagio. Ia memang seperti ditakdirkan untuk menggeluti singkong.

    Ayahnya adalah pekebun singkong yang juga produsen tapioka dan gethuk lindri, penganan yang terbuat dari singkong. Ketika kecil, Subagio membantu pembuatan gethuk lindri dengan menyeleksi bahan baku. Kini ia berharap mocaf mampu mengatasi masalah pangan dan kemiskinan serta memberikan kesejahteraan masyarakat. (Sardi Duryatmo/Peliput: Nesia Artdiyasa)

    Sumber : http://www.trubus-online.co.id

    Ahmad Subagio: Mengembalikan Kejayaan Singkong

     
    Indonesia merupakan produsen ketela atau singkong terbesar ke lima di dunia. Sayangnya, di Indonesia sendiri singkong belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Masyarakat kita masih memanfatkan ketela untuk sumber pangan alternatif menggantikan beras. Disamping itu, Singkong masih identik dengan makanan kelas dua. Di era semaju ini, bila masih dijumpai orang makan singkong, berarti orang tersebut “primitif” atau “miskin”. Stereotip negatif tersebut masih begitu melekat. Dr Ahmad Subagio mencoba merubah stereotip tersebut. Mulai tahun 2004, Ahmad Subagio snagat intens meneliti singkong. Meski sering mendapatkan cibiran dari orang lain, ia masih percaya diri dengan menjadikan produk panganan yang tidak popular tersebut menjadi obyek kajianya. Menurut Subagio, kebanyakan orang memandang, bahwa singkong mempunyai nilai jual yang rendah. Meneliti singkong sama saja dengan membuang-buang waktu, jadi menurut banyak anggapan orang, apa yang ia kerjakanan saat ini hanyalah akan sia-sia belaka. Bahkan tidak hanya itu saja, seorang calon presiden Indonesia pun pernah mencibirnya.
    Kegigihan Ahmad Subagio membuahkan hasil. Setelah sekian lama meneliti singkong, akhirnya Ahmad Subagio berhasil membuat modifikasi singkong menjadi sebuah tepung tanpa aroma dan rasa singkong. Tepung tersebut ia namai dengan Mocaf (Modified Cassava Flour). Hasil penemuanya ini diyakini merupakan penemuan pertama di dunia. Ahmad Subagiopun mulai dikenal banyak orang. Dan masyarakat tidak lagi memandang sebela mata singkong.
    Keluarga Singkong
    Ahmad Subagio lahir di Kediri, empat puluh satu tahun yang silam. Ia lahir dari keluarga petani. Saya sejak umur 7 tahun Ahmad Subagio sudah membantu ayahnya menggembala ternak dan bertani singkong. Ia juga selalu membantu kakaknya yang mempunyai usaha gethuk lindri. Semenjak kecil, Ahmad Subagio sudah identik dengan singkong.
    Ahmad subagio menyelesaikan pendidikan mulai SD hingga SMU di kota tahu, kediri. Setelah lulus SMU, ia melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Jember (UNEJ). Di kampus tersebut, ia mengambil jurusan teknologi pangan. Ia lulus dari UNEJ dengan predikat sebagai lulusan terbaik dan tercepat. Setelah lulus UNEJ, Ahmad Subagio mendapatkan beasiswa master hingga Ph.D sebuah perguruan tinggi di Australia, karena suatu hal, ia tidak jadi berangkat ke negeri Kanguru. Tapi ia tidak kecewa karena secara bersamaan diterima studi di Jepang untuk studi master atas beasiswa Osaka Foundation for International Exchange (OFIX). Jadilah Ahmad Subagio sebagai mahasiswa Osaka Perfecture University, Jepang. Dengan bekerja keras, ia tidak hanya dapat menyelesaikan program masternya, tapi juga memperoleh beasiswa untuk meneruskan jenjang doctor.
    Setelah lulus, Subagio kembali pulang dan mengajar di almamaternya, Universitas Negeri Jember. Pada bulan April 2004, Ahmad Subagio mengikuti program jejaring kerja sama antar Universitas Asia-Eropa di Belanda dan Inggris. Subagio sempat mengunjungi Avebe Corp di kota Veendam, Belanda. Avebe Corp mempunyai usaha pengolahan kentang menjadi produk pangan, kosmetik, dan bahan pencampur cat. Ia terkejut melihat kentang bisa menjadi ratusan macam produk. Setelah dari Belanda, Subagio mengunjungi sebuah kota dekat Liverpool, Inggris. Di kota itu, ia mempelajari bagaimana mengemas sebuah produk baru.
    Dari perjalanannya di Eropa, kemudian terlintas dari benak Subagio untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh Belanda (Avebe Corp) dan Inggris. Indonesia merupakan negara kaya akan komoditi alam terutama singkong, ubi jalar, dan sagu. Akhirnya ia memutuskan untuk meneliti dan mengembangkan singkong.
    Singkong (Manihot esculenta Crantz) ia proses menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikrobia BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demikian pula, cita rasa tepung ini menjadi netral dengan menutupi cita rasa singkong sampai 70%.
    Hasil temuan tersebut, oleh Subagio dinamakan dengan Mocaf atau Mocal. MOCAL mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung singkong pada umumnya. Kandungan protein MOCAL lebih rendah dibandingkan tepung singkong, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna MOCAL yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa.
    Di samping itu, MOCAL menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan tersebut diolah. Hal ini karena hidrolisis granula pati menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan.
    Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku sebagai bahan baku dari berbagai jenis makanan, mulai dari mie, bakery, cookies hingga makanan semi basah. Kue brownish, kue kukus dan sponge cake. Tepung mocaf juga dapat menjadi bahan baku beragam kue kering, seperti cookies, nastar, dan kastengel. hasil temuan Subagio itu kini menyebar ke berbagai daerah seperti Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur), Pati Jawa Tengah), dan Ciamis (Jawa Barat).
    Mengembangkan MOCAF bukan berarti tanpa ada hambatan. Menurutnya, hambatan utama adalah pada sistem bisnisnya, yaitu bagaimana mendapatkan singkong dengan harga wajar dari petani. Para petani mendapatkan keuntungan, tapi produsen MOCAF bisa menjual dengan harga murah. Untuk itu, menurut Ahmad Subagio, produktivitas singkong per hektarnya harus ditingkatkan.
    Selain mengembangkan MOCAF, Ahmad Subagio mengembangkan sistem analisis TAR-nikotin di tembakau dan rokok, residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya untuk produk-produk pertanian, sebelum diperdagangkan. Selain mengajar dan meneliti, ia juga aktif dalam pelbagai kegiatan sosial. Salah satunya ia menjadi pengurus Yayasan Islamic Center, Jember. Yayasan Islamic Center menaungi beberapa kegiatan sosial dan sekolah dasar. Pemilik moto “Maju Terus Pantang Mundur” dan “Inovasi tiada henti”, tersebut kini diakui sebagai ilmuwan ilmu pangan kaliber internasional.

    source: http://puguhsudarminto.wordpress.com/2012/01/07/ahmad-subagio-mengembalikan-kejayaan-singkong/

Kuliner